Runtuhnya Kota Kita

. . Tidak ada komentar:
Prof Eko Budihardjo

Manakala zaman dulu pada 1950-an ada satu buku yang amat kondang berjudul Robohnya Surau Kami, saat ini rasanya akan lebih tepat bila ada buku baru dengan judul Runtuhnya Kota Kita.


Betapa tidak, hampir seluruh kota besar dan metropolitan di tanah air kita mengalami gejala yang disebut urbicide, akronim dari urban suicide alias bunuh diri perkotaan. Kenapa disebut bunuh diri? Oleh karena yang merusak kota dan yang melanggar tata ruang kota adalah justru mereka yang mendapat amanah dari rakyat untuk mengelola kota. Contoh ekstrem dapat dengan jelas kita saksikan di berbagai kota.Di Jakarta,kuburan disulap menjadi apartemen dan perkantoran. Di Yogyakarta, pesanggrahan peninggalan Sri Sultan yang bernilai sejarah dibongkar jadi mal.Di Semarang, lapangan golf ditukar guling menjadi kompleks permukiman mewah.

Daftarnya bisa jadi sangat panjang.Semua itu terjadi akibat orientasi pembangunan kota yang terlalu terfokus pada pertumbuhan ekonomi perkotaan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan keseimbangan lingkungan dan konservasi pusaka budaya cenderung dilupakan. Berita terkini yang amat menyesakkan dada dan membuat gemas adalah rencana pembangunan mal baru di Taman Ria Senayan. Gila betul. Jakarta memang telanjur terkenal sebagai kota seribu mal. Namun, kenapa mesti mal baru dibangun di atas taman yang jelas-jelas merupakan ruang terbuka hijau (RTH) dan mesti dijaga eksistensinya?

Harap diingat bahwa RTH publik di setiap kota diamanahkan undang-undang paling sedikit 20% dan RTH privat minimum 10%,jadi total 30% dari keseluruhan luas lahan kota. Padahal,konon,RTH di Jakarta saat ini tinggal 9,8%. Jadi masih jauh dari ketentuan, mestinya jangan dikurangi lagi.Justru kalau bisa ditambah.

Lapar Lahan

Pengembang atau investor yang jeli melihat peluang selalu saja melirik ruang-ruang terbuka perkotaan sebagai sasaran utama dalam pengembangan usahanya. Itu sebabnya mereka sering disebut sebagai land hungry developer atau pengembang yang lapar lahan. Mereka tampaknya terlalu dibiarkan menggurita dan menelan lahan-lahan terbuka perkotaan, terutama di tempat-tempat yang strategis.

Kompleks Senayan, misalnya, yang dulu dirancang Presiden Soekarno yang visioner itu sebagai kawasan hijau dengan peruntukan tanah ditetapkan bagi aktivitas olahraga, sekarang sudah ditumbuhi dengan mal,plaza,apartemen, hotel.Penyimpangan-penyimpangan tata ruang dan salah urus pembangunan kota seperti itu berlangsung terus selama ini, nyaris tanpa kendali. Saking sebalnya Remy Silado pun sampai-sampai bikin puisi mbeling: //Banyak ruang banyak ac/Banyak uang banyak acc/Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran/Pejabat kebanjiran amplop dan sogokan//.

Akan sangat berbahaya betul bila sampai penguasa kota dan pengusaha terus-menerus melakukan kolusi,menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan uangnya untuk kepentingan pribadi hanya dengan pemikiran jangka pendek. Para perusak kota yang biasa dijuluki dengan predikat urban cowboys itu selalu saja lolos dari jeratan hukum karena dalam Undang-Undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang tidak ada satu pun pasal mengenai sanksi. Tatkala saya diminta Menteri PU untuk mengawal penyusunan perubahan undang-undang tersebut, saya bersikukuh untuk memasukkan pasal khusus tentang sanksi bagi pelanggar tata ruang. Sebab, kalau tidak, undangundang itu hanya seperti macan kertas saja.

Atau seperti kata pepatah, bagaikan anjing yang menggonggong terus, tapi tak pernah menggigit. Nah, dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 sudah secara eksplisit tercantum sanksi yang jelas dan cukup berat.Tidak hanya bagi para pelaku pembangunan saja, melainkan juga bagi pemberi izin. Bukan sekadar sanksi administratif, tetapi juga sanksi pidana dan denda. Rakyat pun diberi hak untuk menuntut bila terjadi penyimpangan tata ruang.

Kecenderungan Centremania

Salah urus dalam pembangunan perkotaan di tanah air kita juga tampak dalam wujud kecenderungan centremania. Maksudnya, para penanam modal dan aktoraktor pembangunan kota selalu menginginkan lokasi di pusat kota untuk pengembangan kegiatan usaha mereka. Memang lahan di pusat kota sering menerbitkan air liur karena faktor-faktor aksesibilitas, ketersediaan prasarana dan utilitas umum, kemudahan jejaring, dan sebagainya.Namun mereka tidak atau kurang memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Terutama sekali dalam kaitannya dengan kemacetan lalu lintas. Dewasa ini Kota Jakarta sudah tertimpa musibah dahsyat,macet di segenap pelosok kotanya akibat meledaknya pertumbuhan bangunan- bangunan tinggi di pusat kota tanpa diikuti dengan sarana transportasi umum massal.Kemacetan, kesemrawutan,dan kekacauan lalu lintas yang terjadi di Kota Jakarta sudah bukan lagi sekadar traffic jam, tetapi sudah sampai pada tahap traffic apocalypse. Dalam forum International Conference on Mobility and Transportation yang diselenggarakan di Lille, Prancis, tahun 1992, salah satu rekomendasi yang dirumuskan adalah bahwa untuk kota yang berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa,kehadiran suatu bentuk mass rapid transit (MRT) merupakan prasyarat berfungsinya kota secara efektif dan efisien.

Nah, di Jakarta terjadi paradoks lalu lintas karena yang dibutuhkan warga kota adalah sistem transportasi umum massal terpadu, tapi yang dibangun justru sarana dan prasarana jalan yang lebih mengutamakan kepentingan pemilik kendaraan pribadi. Kisahkisah tentang keluhan masyarakat terhadap iring-iringan kendaraan pejabat tinggi,termasuk Presiden, tidak akan terjadi bila ada MRT yang nyaman dan aman bagi mayoritas warga kota. Memang biaya awal membangun MRT cukup mahal, tapi manfaat jangka panjangnya jauh lebih bermakna dan mesti segera direalisasikan kalau tak ingin Jakarta runtuh.

Belajar dari negeri jiran kita Singapura, ketika studi kelayakan MRT dibuat pada awal 1972, plafon biayanya teramat sangat tinggi.Pembangunan MRT saat itu merupakan proyek terbesar dan termahal yang dilaksanakan Pemerintah Singapura. Namun, dengan tekad membaja, dengan prinsip tanggung renteng, biaya bisa dikumpulkan mulai dari hasil penjualan tanah reklamasi Marina South, pajak kendaraan mewah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak-pajak lain yang diberlakukan secara progresif. Ditambah dengan pemanfaatan dana corporate social responsibility (CSR) dari pengusahapengusaha besar dalam dan luar negeri, masalah biaya akhirnya dapat teratasi.Pemilik kendaraan pribadi meneteskan ke bawah sebagian kekayaannya untuk kepentingan para pengguna kendaraan umum.

Mereka tidak merasa keberatan karena dengan banyaknya warga kota yang menggunakan MRT, pengendara mobil pribadi lantas bisa lebih leluasa bergerak dan lebih nyaman. Hasilnya memang sudah bisa dilihat karena dengan adanya MRT yang menjangkau seluruh bagian kota,termasuk kota-kota barunya, berkendara di Singapura terasa nyaman. Kecenderungan centremania pun dapat ditangkal karena tata guna lahan dirancang dalam satu sistem dengan jaringan transportasi umum yang disubsidi.

Modelmodel subsidi silang semacam itu memang sudah sepatutnya diterapkan dalam berbagai aspek pembangunan kota-kota besar di Indonesia agar tidak runtuh satu demi satu.(*)

Prof Eko Budihardjo
Ketua DP2K Semarang, Anggota AIPI, Guru Besar Undip

Sumber: [Koran-Digital]Kamis, 29 Juli 2010

Setelah Memabaca berita ini, Jangan Lupa Tingalkan Pesan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa Pendapatmu