Pembangunan Singkirkan Orang Asli Papua

. . Tidak ada komentar:


JUBI --- Saat ini sedang terjadi di bumi Cenderawasih, dimana berbagai pembangunan terus berjalan serta program pemerintah diberikan kepada Rakyat Papua, namun tatanan adat dan budaya serta identitas Orang Asli Papua (OAP) justru mulai terkikis habis, karena dalam pemetaan serta orientasinya hanya melihat pada manusia tanpa melihat dari mana asal kehidupan yang mestinya dijaga dan dipertahankan sebagai sebuah nilai-nilai kultur yang dapat mendukung antara pembangunan dan budaya.
Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin: colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam Bahasa Indonesia.


Populasi penduduk asli Papua semakin hari terancam akibat pembangunan yang tidak berpihak dan cenderung mengeksploitasi sumber daya alam. Hal ini memcicu laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi dan terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni dan bahasa, sebagaimana juga budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius  dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain, seperti halnya yang perlu dilestarikan di Tanah Papua.

Dalam sidang  Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada Juni 2006 di Kota Jeneva, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi, dengan demikian, telah jelas  bahwa bangsa ini harus komitmen menghargai apa yang menjadi hak hak masyarakat pribumi, seperti halnya di tanah Papua, termasuk dalam  Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua belum memberikan jaminan atau afirmatif hukum yang jelas bagi penyelematan masyarakat adat dan budaya OAP.

Sejak awal Tahun 70-an hingga Tahun 2000-an telah diterapkan berbagai kebijakan pendidikan dan strategis pendekatan kelembagaan secara parsial, guna mempercepat proses pembangunan di Tanah Papua, dalam hal ini lebih banyak diterapkan sistem dan mekanisme top-down serta dibakukan secara nasional, akibatnya justru mengacam sistem pendidikan tradisional yang telah dimiliki oleh Masyarakat Adat Papua, misalnya seperti Otini-Tabenak di lembah Baliem atau  Sambanim dan Pakanasim pada Masyarakat Marind yang merupakan pola pendidikan ketahanan pangan lokal, akan tetapi semua telah mengancam kelembagaan tradisional lainnya yang dikategorikan sebagai aset sosial Masyarakat Adat Papua.

“Mari kita membangun komitmen untuk memperjuangkan kembali hak kita sebagai pemilik tanah dan Negeri Papua, sebab kondisi saat ini menunjukkan OAP semakin termarjinalisasi dari hak miliknya sendiri,” kata Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut, saat memperingati Hari Pribumi Tanggal 9 Agustus lalu di Sabron, Kabupaten Jayapura. DAP juga menilai  komunitas Masyarakat Asli Papua akan dibawa pada  pemusnahan etnis secara perlahan, indikatornya Masyarakat Asli Papua dibunuh oleh senjata api, senjata tajam, minuman keras serta adanya rekayasa kriminal, senjata virus HIV/AIDS serta pembunuhan karakter.


Hipotesa di atas, bukan tidak mungkin dengan melihat jumlah penduduk Masyarakat Asli Papua yang setiap harinya semakin berkurang, sementara warga non-Papua semakin banyak berdatangan ke Papua untuk berbagai tujuan mencari hidup dan melakukan berbagai hal di sini.  Seiring pertumbuhan perekonomian Papua yang sangat cepat maka arus pendatang ke Papua juga meningkat tajam. Papua bukan hanya surga bagi pengekploitasi sumber daya alam tetapi juga bagi pencari kerja, akibatnya populasi Penduduk Asli Papua jelas terancam.

Sebuah makalah yang disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project Tanggal 9-10 Agustus 2007 di Sydney, Australia yang disampaikan oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan, populasi penduduk non-Papua pada Tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari 6,7 juta jiwa penduduk Papua dalam tahun yang sama. Namun, yang lebih bahaya lagi pada Tahun 2030 perbandingan penduduk  Papua dan non-Papua mencapai 1:6,5.

Hal di atas mungkin bisa menjadi gambaran masa yang akan datang, akan tetapi data terbaru dari  Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi, dimana hasil Sensus Penduduk (SP) Tahun 2010 di Provinsi Papua tercatat 2,8 juta jiwa, yang mana jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1,51 juta jiwa dan perempuan 1,34 juta jiwa. Dalam hal ini dokumen C1 adalah untuk bertempat tinggal tetap, C2 untuk tuna wisma, awak kapal, barak militer dan penjara, serta L2 untuk suku terasing, asrama dan pondok pasantren serta Rumah Sakit Jiwa (RSJ),” ungkapnya.
Dari data yang diterima C1 jumlah penduduk 2. 798,938 juta jiwa, sedangkan C2 untuk tuna wisma 35 orang, awak kapal 887 orang, barak militer 6.279 jiwa, penjara sebanyak 1.340 jiwa, sedangkan dokumen L2, untuk RSJ 33 jiwa, suku terasing 865 orang, pondok pasantren 173 jiwa, asrama 1.061 jiwa dan lainnya sebanyak 13.202 jiwa. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi Papua Tahun 2000-2010, kata dia, rata-rata sebesar 5,55% per tahun.

Penduduk Papua sangat erat kehidupannya dengan adat dan budaya, namun dengan berkurangnya populasi, tentu akan membuat pemerintah kurang peduli dengan penataan budaya, karena pembangunan akan lebih banyak kepada mereka yang non-Papua sebagai populasi penduduk yang mulai banyak di Tanah Papua. Masalah ini janganlah berlarut-larut, sehingga peran pemerintah daerah harus lebih tegas dan terarah dalam upaya menjaga identitas kelangsungan hidup budaya Orang Asli Papua.

Demikian pula, tanah adalah mama (mother) dan warisan nenek moyang yang harus kita jaga dan dirawat dengan baik untuk kebahagian kita dan anak cucu Masyarakat Adat Papua, karena DAP mengajak seluruh tokoh adat dan Anak Adat Papua untuk tidak menjual tanah-tanah adat. Di sisi lain, pembangunan investasi di Papua tidak boleh menghilangkan hak masyarakat adat atas tanahnya, sebab itu pemerintah ata dunia usaha untuk tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas nama pembangunan dan menjadikan masyarakat adat miskin dan termarjinalkan. (JUBI/Eveerth Joumilena)

Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/akar-sagu/9274-pembangunan-singkirkan-orang-asli-papua

Setelah Memabaca berita ini, Jangan Lupa Tingalkan Pesan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa Pendapatmu