Mau Kemana Penduduk Asli Port Numbay ?

. . 1 komentar:
kota Jayapura
Warga Port Numbay sejak awal hidup tenteram sesuai tradisi dan aturan adat yang berlaku dalam kebudayaan Tabi. Hubungan antar kekerabatan terjalin dengan masyarakat di Kampung Ormu, Kajoe Batu, Kajoe Pulo, Tobati, Injros, Nafri hingga ke Skouw sampai ke Papua New Guinea termasuk penduduk Kampung Joka hingga ke Sentani. 

Namun perubahan mulai terjadi bagi masyarakat Port Numbai terutama saat pecah Perang Dunia Kedua,1939-1944. Wilayah Port Numbay yang tadinya hutan belantara berubah menjadi Kota dan jalan-jalan mulai dibangun termasuk Bandara Sentani juga peninggalan Perang Dunia Kedua. Pelabuhan bongkar muat termasuk docking kapal yang kini dikenal dengan dok II, dok IV, dokV, dok VII, dok VIII dan dok IX. 


Saat terjadi Perang Dunia Kedua, warga di Port Numbay banyak mengungsi dan bersembunyi terutama di daerah hutan sagu. Masyarakat percaya kalau sembunyi di hutan rawa sagu jarang terjadi bom-bom yang bisa meledak. Mungkin ada faktor keberuntungan jika sembunyi di hutan rawa sagu. 

Mendiang Pdt Silas Chaay menuturkan usai Perang Dunia Kedua masyarakat dari Kampung Kajoe Pulo pulang ke kampung setelah mengungsi ke Kampung Ormu. Begitu tiba di Kampung Kajoe Pulo, masyarakat terkaget-kaget, dusun-dusun sagu di Kali Anafre sudah hilang. Kebun-kebun di sekitar Bank Indonesia berubah menjadi jalan raya yang dibangun tentara sekutu untuk menghubungi Army Post Office atau yang kini disebut APO. 

Bayangkan masyarakat asli Port Numbay harus menerima kenyataan kalau kampung-kampung dan dusun mereka lambat laun berubah menjadi wilayah perkotaan. Tak ada lagi tempat mencari terutama kebun dan dusun. Masyarakat yang tadinya hidup meramu di dusun sagu hutan rawa dan berkebun serta berburu hewan harus berhadapan dengan perubahan yang amat tragis. Bahkan mau mencari ikan harus berhadapan dengan kapal-kapal besar yang bongkar muat di pelabuhan kapal di Teluk Humbolt. Warga Tobati dan Injros tak bisa berbuat banyak karena laut di Teluk Joutefa sudah tercemar.Hanya plastik dan botol-botol yang tersangkut dikail para nelayan. 

Salah satu fakta ialah perubahan wilayah kampung menjadi kota.Nama-nama asli mulai hilang. Sebut saja misalnya wilayah kawasan Entrop yang sebenarnya berasal dari nama seorang pengusaha kayu asal Belanda, meneer Entrop. Tuan Entrop yang tinggal di rumah milik Keluarga Karma orang tua dari Cosntan Karma dekat kali Entrop. Rumah tuan Entrop itu dulunya tempat usaha pengolahan kayu gergajian. Tuan Entrop boleh pulang ke Belanda tapi namanya diabadikan di Kota Port Numbai. 

Begitupula dengan Polimaq Road, Santarosa, Skyland. Termasuk pantai Base G salah satu basis G tentara sekutu di wilayah Nieuw Guinea Barat. Sedangkan di PNG terdapat Base H di Finschaven , Lae Province. Bukan hanya itu setelah Indonesia masuk ke wilayah Papua ada sebutan Argapura,Tasangkapura. Mungkin hanya nama Hamadi yang masih tersisa sesuai marga di Kampung Tobati.

Kini Kota Port Numbay berusia ke 102 tepatnya , 7 Maret 1910-7 Maret 2012. Apa yang terjadi dengan masyarakat asli Port Numbay ? Ternyata mereka tetap berhadapan dengan perubahan dan tantangan kehilangan lahan garapan dan kehidupan.Mau kembali mencari ikan dan membuka kebun jelas tak mungkin lagi. Kini mungkin hanya keahlian menjual jasa atau kepemilikan saham dalam usaha. Sebuah jalan keluar dari tekanan ekonomi adalah langkah yang diambil masyarakat Kajoe Pulo dengan pengusaha pengelola Jayapura Mall . Pengusaha Jayapura Mall membagi kepemilikan saham dengan masyarakat Kajoe Pulo. Mungkinkah model ini bisa dipakai untuk menjawab kehidupan masyarakat asli Port Numbay. Tak tahulah tapi yang jelas jangan sampai masyarakat asli Port Numbay kehilangan segala-galanya.

(Sumber: Jubi/Dominggus A Mampioper)

1 komentar:

Apa Pendapatmu